Tulisan Kedua, dari Tiga Bagian
Belajar dari Korea, sekurang-kurangnya ada tiga hal utama yang membuat atlet bisa berprestasi: repetisi, koreksi, dan bahagia. Repetisi konsisten yang dilakukan sejak dini. Koreksi dilakukan dengan intervensi teknologi tinggi. Yang terakhir, tetapi juga menjadi yang pertama dan utama, atlet panahan harus bahagia. Dan Korea adalah satu-satunya negara yang memiliki segudang pengalaman, pengetahuan, dan tradisi untuk mewujudkan ketiga hal itu.
JAKARTA, 16 Maret 2023 – Belum ada yang bisa mengalahkan dominasi Korea dalam peroleh medali emas Olimpiade. Sejak diperkenalkan pada 1988 di Olimpiade Seoul, sudah sembilan kali berturut-turut tim putri recurve Korea tidak pernah alpa menjadi jawara. Sementara itu, tim putra recurve putra Korea hanya lepas satu kali di Olimpiade London, saat kalah di semifinal melawan Amerika Serikat. Negara ginseng ini sudah memenangkan total 39 medali Olimpiade, 23 di antaranya adalah emas, sembilan perak, dan tujuh perunggu.
Tidak ada keajaiban di balik kemenangan beruntun tim Korea. Emas olimpiade di level beregu dan perorangan itu datang dari sebuah siklus juara yang telah dipelihara dan ditingkatkan selama bertahun-tahun. Korea menjadi seribu langkah ke depan dari negara-negara lain karena selalu berinovasi dari siklus juara itu.
Cerita tentang ketangkasan jari-jari orang Korea yang dilahirkan menjadi juara panahan sebenarnya adalah mitos. Pasalnya, setiap tahun ada sekitar 900 pemanah cilik yang berlatih memanah di Korea. Mereka tersebar di lebih dari 100 klub yang ada di Korea.
Kim Je Deok yang memenangkan dua medali emas pada Olimpiade Tokyo di usianya yang masih 17 tahun menuturkan, dia mulai berlatih memanah sejak kelas tiga SD. Setelah pulang dari sekolah formal dari pagi hingga siang, Je Deok lalu berlatih memanah di sore hari. “Sejak kelas tiga SD saya sudah berlatih menembak 300 sampai 500 anak panah per hari,” katanya.
Bisa dibayangkan, dengan konsistensi jumlah tembakan per hari tersebut, berapa kali Je Deok sudah melesakkan anak panah sebelum akhirnya meraih dua medali emas.
Atanu Das, salah satu pemanah terbaik asal India yang pernah berlatih di Akademi Panahan milik Coach Kim Hyung Tak, mengatakan, pemanah-pemanah cilik di Korea pertama-tama dibiasakan untuk mencintai (bahagia) olahraga panahan. Setelah olahraga itu menyenangkan, mereka lalu diajarkan dasar-dasar memanah yang benar, dari mempertahankan postur yang benar hingga penguasaan lapangan, dan teknik menembak.
“Kita yang lain umumnya mulai mengenal panahan dari usia 14 – 15 tahun. Tetapi, Korea sudah memiliki stok atlet sejak usia dini. Ini yang membuat Korea lebih maju dari negara lain,” katanya.
Akademi Panahan
Selain stok atlet panahan yang berlimpah, keberhasilan Korea juga ditentukan oleh sekolah dan akademi panahan yang bertumbuh. Mereka memelihara tradisi juara itu di dalam akademi dan melakukan berbagai inovasi untuk mengeluarkan kemampuan terbaik para pemanahnya.
Salah satu yang menjadi fondasi lahirnya akademi memanah di Korea adalah Kisik Lee, yang saat ini menjadi pelatih kepala Amerika Serikat. Dia menjadi tokoh belakang layar yang berperan penting dalam menyiapkan program pelatihan panahan di negara tersebut sejak 1981 hingga 1997.
Pada masanya, dia mewajibkan setiap atlet Korea berlatih hingga 10 jam sehari dengan total 2.500 anak panah seminggu. Para atlet juga ditempa di berbagai kondisi, seperti berlatih di luar ruangan, bahkan di tengah hujan dan musim dingin yang keras. Dengan metode yang hampir sama, tidak heran pada Olimpiade London, di bawah asuhan Kisik Lee, tim Amerika Serikat menumbangkan Korea di semifinal.
Di Amerika, dia mengembangkan metode pelatihan yang dikenal “Kisik Lee Shoot Cycle” (The KLS Shoot Cycle). Kisik Lee memperkenalkan 12 tahap dalam menembak. Setiap tahapan dijelaskan dengan detil, langkah demi langkah yang harus dilakukan sang atlet.
Selain KLS Academy, yang trainingnya banyak diikuti oleh pelatih dan pemanah dari penjuru dunia adalah akademi milik Coach Kim Hyung Tak. Dia bahkan telah mengembangkan aplikasi Kim, Hyung-Tak Archery untuk menyebarluaskan metode memanah. Di dalam aplikasi itu, dia menawarkan metode pelatihan untuk pelatihan dasar, metode untuk melatih, dan cara menganalisis. Aplikasi itu diperkaya dengan video-video untuk memperlihatkan praktik langsung metodologi tersebut.
Coach Iwan, pelatih panahan Provinsi Papua Barat yang pernah tiga kali mengambil sesi training bersama Coach Kim di Korea, mengatakan, pemusatan latihan yang diterapkan di Korea sudah menggunakan teknologi yang sangat canggih. Dasar utama dari pengembangan kemampuan memahan atlet adalah koreksi. Di pemusatan pelatihan di Korea, koreksi itu dilakukan dengan slow motion video.
“Analisis menggunakan gerak lambat video itu akan menghasilkan gambaran yang detil. Dengan demikian, koreksi terhadap teknik atlet juga akan sangat detil, dari semua aspek yang diperagakan atlet saat menembak,” katanya.
Sekjen Federasi Panahan Filipina Rosendo Sombrio, yang pernah mengikuti training di Korea, mengatakan, setiap hari tim pelatih Korea mengambil video para atlet, satu per satu, saat mereka menembak. Dari video itu, mereka melakukan analisis dan koreksi terhadap setiap atlet.
Atanu Das menegaskan, dengan berlatih di training camp Korea, dirinya jadi tahu bagaimana menganalisis teknik dan hasil tembakannya. Analisis dengan video membantu saya untuk fokus, mengabaikan hal yang tidak perlu, yang mengganggu, dan bagaimana memperbaiki skor saya dengan melakukan perbaikan pada teknik menembak.
Peran Filantropi
Setelah Korea memastikan merebut emas di Olimpiade di Rio Jenairo, salah satu sosok yang digendong dan dilempar ke atas adalah Chung Euisun, Hyundai Motor Group Chairman sekaligus Ketua Asosiasi Panahan Korea. Chung sangat perhatian dengan para atlet panahannya. Dia menyediakan limosin dan truk kontainer, lengkap dengan kamar mandi dan kamar tidur untuk tempat istirahat para atlet di dekat lapangan panahan di Rio. Dia juga menyewa bodyguard untuk menjaga para atlet. Kondisi fisik dan mental para atlet di atas segalanya bagi Chung.
Hyundai sudah 36 tahun, sejak 1985, menjadi sponsor utama tim panahan Korea. Mereka menggelontorkan komitmen investasi kurang lebih US$43 juta demi medali emas Olimpiade dalam kurun tiga dekade.
Dalam salah satu kesempatan, Chung mengatakan, pihaknya telah menerapkan lima teknologi untuk membantu atlet Korea meraih medali emas, di antaranya peran kecerdasan buatan (artifial intelligent), informasi biometrik, big data, dan teknologi 3D. Mereka mengembangkan teknologi untuk menghasilkan anak panah dengan akurasi yang tinggi. Melalui teknologi perekaman, mereka mengukur kualitas anak panah, dengan menguji tekanan, kecepatan, dan arah (daya lesak) anak panah. Dengan teknologi juga, pihaknya mampu merekam, mencatat, dan mencetak skor secara otomatis.
Hal lain yang mengejutkan dari Olimpiade Tokyo adalah teknologi perekaman denyut jantung, pergerakan gelombak otak untuk menguji mental dan daya saing para atletnya. Para atlet diberi simulasi dari berbagai kondisi, termasuk dalam kondisi bising, dingin, panas, dan para pelatihnya melakukan analisis terhadap kemampuan setiap atlet menghadapi tekanan tersebut.
Bahkan, mereka mereplikasi lapangan tembak Olimpiade Tokyo, dengan berbagai kondisi, untuk membiasakan para atlet menembak sesuai dengan kondisi aktual lapangan tembak di Tokyo. Atlet benar-benar disiapkan dari segala sisi untuk menghadapi berbagai situasi.
Menurut Kisik Lee, filosofi panahan adalah bahagia. Dia mengutip idiom Albert Schweitzer, “Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful.”
Belajar dari Korea, sekurang-kurangnya ada tiga hal utama yang membuat atlet bisa berprestasi: repetisi, koreksi, dan bahagia. Repetisi itu dilakukan secara konsisten dan presisi sejak dini. Koreksi dilakukan dengan intervensi teknologi tinggi. Yang terakhir, tetapi juga menjadi yang pertama dan utama, atlet panahan harus bahagia. Dan Korea adalah satu-satunya negara yang memiliki segudang pengalaman, pengetahuan, dan tradisi untuk mewujudkan ketiga hal itu. (AY/dari berbagai sumber)